![]() |
| [Foto : Gus Kholil alias Tabib Gendeng Sobo langit Tengah sebelah kiri Gus Nardi] |
Didampingi Gus Nardi, pemerhati budaya Nusantara, sang tabib menegaskan satu pesan yang terasa menusuk alam bawah sadar,“Jangan tinggalkan Kapitayan ,sebab di sanalah pintu awal cahaya leluhur terbuka.”
Ucapan itu meluncur pelan, namun atmosfirnya membuat beberapa orang di sekitar merasakan bulu kuduk meremang.Rabu (19/11/2025)
Kapitayan adalah ajaran monoteistik purba yang memuja Sang Hyang Taya ketiadaan yang sesungguhnya adalah kehadiran. Tuhan yang tak bisa disembah dengan bayangan, tak bisa didekati dengan rupa. Hanya bisa dirasakan melalui keheningan hati dan getaran batin.
Dalam tradisi Jawa, ajaran ini diyakini hidup berdampingan dengan para wong tuwo, para penjaga tak terlihat yang menjaga keseimbangan alam. Di sinilah Kapitayan dianggap sebagai jalan sunyi yang tersambung dengan kesadaran kosmik leluhur.
Menurut Gus Kholil, meninggalkan Kapitayan bukan sekedar meninggalkan kepercayaan lama tetapi memutuskan tali dengan sumber kekuatan yang menjaga harmoni Nusantara sejak masa ketika gunung dan laut masih muda.
“Jati diri bangsa itu bukan hanya tertulis ,tapi bersemayam. Kalau Kapitayan hilang, hilang pula penjaga arah hidup bangsa ini,” ungkapnya dengan suara rendah.
Kapitayan mengajarkan hubungan manusia dengan alam bukan sekedar sebagai makhluk hidup, tetapi sebagai saudara sejiwa. Ritual-ritualnya tulajek, tungkul, tondem, tulungkup bukan sekedar gerakan sembahyang, melainkan bentuk komunikasi halus dengan kekuatan yang mengatur keseimbangan bumi.
Puasa upawasa, poso dino pitu, hingga laku-laku tapa lainnya dianggap sebagai cara membuka pintu batin menuju Sang Hyang Taya.
Dalam perbincangan malam itu, angin yang lewat terasa membawa pesan yang sama ,jangan tinggalkan akar leluhur.
“Kapitayan bukan hanya ajaran, itu nadi Jawa. Selama manusia menjaga nadi itu, alam akan menjaga manusia,” tutur Gus Kholil, sebelum mengakhiri dengan tatapan tajam namun teduh.
Peringatan itu mengalir seperti sabda dari masa yang jauh, mengingatkan bahwa spiritualitas Jawa bukan sekadar cerita. Ia hidup, ia bernafas, dan menunggu untuk kembali dikenali oleh anak cucu peradaban ini.
(Hamim)
dibaca
