Surabaya, R,Kompas - Kasus impor dan perdagangan Sianida ilegal yang beberapa pekan lalu digerebek Dittipidter (Direktorat Tindak Pidana Tertentu) Bareskrim Polri dan Polda Jatim kembali menjadi sorotan publik. Pasalnya, jika sebelumnya ramai diberitakan, kini telah berubah alias ‘sepi pemberitaan’ saat kasus itu memasuki proses persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Berita-berita yang sebelumnya gencar mengikuti proses hukum atas kasus tersebut, kini seolah-olah ‘tiarap’ dan tidak lagi memberitakan. Kejanggalan ini tentunya semakin memantik kecurigaan publik, ada apa dibalik sidang kasus sianida di PN Surabaya?
Pantauan Awak Media di PN Surabaya dalam beberapa pekan ini, bahwa sidang kasus tersebut digelar setiap hari Rabu di Ruang Kartika. Namun, pada Rabu (1/10/2025), sidang yang dijadwalkan mulai pukul 09.00 wib, sesuai yang tercantum dalam website SIPP (Sistem Informasi Penelusuran Perkara) Pengadilan Negeri Surabaya, ternyata tidak juga digelar.
Padahal, dalam website SIPP Pengadilan Negeri Surabaya sudah jelas tertulis bahwa sidang dengan nomor perkara: 1791/Pid.Sus/2025/PN Sby di Ruang Sidang Kartika itu akan berlangsung pukul 09.00 wib hingga selesai. Dengan terdakwa Steven Sinugroho bin Sugiharto selalu Direktur PT Sumber Hidup Chemindo (PT SHC). Namun hingga nyaris pukul 12.00 wib pun sidang Sianida ini juga tidak tampak digelar. Ironisnya lagi, pemberitaan atas kasus ini di persidangan seolah ‘lenyap’ dari ruang publik.
Sementara kuasa hukum terdakwa, Rohmad Amrulloh, sempat dimintai keterangan atas kasus ini namun menolak. “Kalau statemen minta Mas Ridwan saja ya,” ujarnya.
Diketahui, kasus dugaan penyelundupan dan impor sodium cyanide atau sianida ilegal dalam jumlah besar ini mulai menjadi perhatian publik. Apalagi, PT Sumber Hidup Chemindo (PT SHC) bukan merupakan importir produsen, yang berhak melakukan impor atas barang berbahaya tersebut.
Dalam kasus ini, JPU (Jaksa Penuntut Umum) dari Kejati Jatim, yakni Darwis dan Suwarti, menyeret Direktur PT Sumber Hidup Chemindo (PT SHC), Steven Sinugroho sebagai terdakwa.
Kasus ini terungkap setelah tim dari Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri melakukan penggerebekan di gudang PT SHC di Jalan Margomulyo Indah, Surabaya, pada 14 April 2025 lalu.
Dalam penggerebekan itu, polisi menemukan ribuan drum sianida dari berbagai merk. Bahkan, beberapa di antaranya telah dilepas stikernya. Bukti itu sebagai puncak dari penyelidikan yang dimulai sejak April 2024.
Dikatakan Suwarti, PT SHC, bergerak di bidang distribusi bahan kimia sejak 2001 itu hanya memiliki izin sebagai Distributor Tetap Bahan Berbahaya (DT-B2). Sehingga, izin itu membatasi mereka tidak diperbolehkan melakukan impor bahan berbahaya secara langsung.
Untuk menyiasati hal itu, Steven Sinugroho menjalin kerja sama dengan PT SPM di Pontianak, yang memiliki izin Importir Produsen Bahan Berbahaya (IPB2). Padahal, izin impor tersebut seharusnya hanya digunakan untuk kebutuhan produksi internal PT SPM.
“Mereka kerja sama yang dimulai pada November 2023 awalnya berkedok proyek penambangan emas. Namun, skema ini ternyata hanyalah pintu masuk bagi PT SHC untuk menggunakan perizinan PT SPM demi mengimpor sianida dari perusahaan di Tiongkok, yaitu Guangan Chengxin Chemical Co Ltd. dan Hebei Chengxin Co Ltd,” terang Suwarti.
Bahkan, lanjut Suwarti, pengurusan izin impor atas nama PT SPM dilakukan oleh seorang makelar bernama Holyanto. Berdasarkan mutasi rekening, Sugiarto Sinugroho mentransfer uang senilai total Rp 1,6 miliar kepada Holyanto untuk memuluskan proses perizinan dan pengeluaran barang di pelabuhan.
Total 494,4 ton sianida, setara dengan 9.888 drum, berhasil diimpor oleh PT SHC dalam tujuh kali pengiriman antara Mei 2024 hingga April 2025. Dan, setelah barang tiba di Pelabuhan Tanjung Perak, sianida tersebut dikirim ke gudang PT SHC di Surabaya.
Meski awalnya akan digunakan untuk proyek penambangan emas, terdakwa Sugiarto dan Steven Sinugroho akhirnya menjual kembali sianida impor tersebut karena hasil percobaan produksi tidak bagus (rugi). Sianida itu dijual ke berbagai konsumen dengan harga antara Rp 4,2 juta hingga Rp 4,6 juta per drum.
“Penjualan ini dilakukan melalui telepon dan dikirim ke kantor jasa pengiriman, termasuk ke kantor cabang PT SHC di Sulawesi Utara dan Gorontalo,” ungkap Suwarti.
Modus impor dan perdagangan ini merupakan pelanggaran berat. Pasalnya, Peraturan Menteri Perdagangan menegaskan bahwa perusahaan seperti PT SPM, yang memiliki izin IPB2, dilarang memperjualbelikan bahan berbahaya yang diimpornya. Karena PT SPM merupakan importir produsen.
Dalam penggerebakan, tim Bareskrim Polri berhasil mengumpulkan banyak bukti di gudang PT SHC, termasuk ribuan drum sianida dari Tiongkok, surat jalan, nota, dan buku catatan stok barang, stiker/label merek sianida yang telah dilepas, invoice dan bukti pembayaran yang menunjukkan impor atas nama PT SPM. Selain itu, hasil pemeriksaan Laboratorium Forensik Polda Jawa Timur mengonfirmasi bahwa seluruh barang bukti tersebut adalah kristal Sodium Cyanide (NaCN).
“Atas perbuatannya, terdakwa diancam pidana sesuai pasal 106 Jo pasal 24 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP,” tambah Suwarti.
Sedangkan DPR RI belum berhasil dikonfirmasi terkait kasus impor sianida ilegal yang menjadi sorotan publik ini.(Wid)
dibaca